Menelaah persidangan pada 2 Mei 2013 kemaren mengenai kasus cukur
rambut siswa yang dilakukan oleh seorang guru honorer di Aop Saopudin
(31) SDN V Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat terhadap salah satu siswa mengundang tanya penulis: dimana keadilan?
Guru Aop diputuskan oleh hakim melanggar pasal 335 KUHP ayai 1 ke 1
KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, Aop divonis tiga bulan
penjara dengan masa percobaan selama enam bulan. Selain itu, Aop juga
dikenai kewajiban untuk membayar biaya perkara sebesar Rp5.000.
Walau putusan hakim itu tidak membuat Aop langsung dipenjara atau
dikurung, tapi masih bisa bebas dengan status percobaan enam bulan yang
artinya apabila Aop melakukan lagi perbuatanya dalam enam bulan itu maka
Aop akan langsung dijebloskan kepenjara dan dikurung selama tiga bulan.
Namun, walau begitu secara tersurat Aok sudah dinyatakan memiliki
catatan hitam sebagai pelanggar hukum dan berstatus sebagai”narapidana.”
Ini jelas merugikan Aop, oleh karenanya tepatlah Aop mengajukan banding
atas putusan hakim tersebut.
Bagaiamana kasus ini bisa menyerat Aop? Kejadiannya berawal saat Aop
melakukan kegiatan pendisiplinan di sekolah tempatnya mengajar yakni
dengan memotong rambut siswa yang dinilai sudah panjang pada Maret tahun
2012 lalu. Dalam kegiatan tersebut, Aop mendapati beberapa siswa yang
melanggara peraturan sekolah yaitu berambut panjang, kemudian Aop
memotong sebagian rambut siswa-siswa tersebut dan meminta agar
siswa-siswa yang melanggar tersebut merapihkannya di rumah. Namun,
salah satu orang tua siswa, tidak terima sikap Aop dan kemudian menempuh
jalur hukum.
Anehnya Hakim malah memutuskan Aop bersalah, padahal apa yang dilakukan
Aop berkaitan dengan penegakkan peraturan sekolah. Hakim sepertinya
tidak melihat UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 14
h yang berbunyi dalam menjalani tugas keprofesionalan guru berhak :
huruf c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; huruf f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; dan huruf g) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Jelas disini guru dilindungi dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru.
Tugas guru bukan hanya sekedar mengajar juga bertugas membentuk karakter
siswa dengan melakukan tindakan kedipsilinan disekolah berdasarkan
peraturan sekolah yang notabene disepakati oleh pihak sekolah dan
orangtua/wali murid ketika memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.
Nah, menilik kasus ini lalu kemana perlindungan terhadap guru? Atau
perlu dibuat UU baru khusus tentang perlindungan terhadap guru dan
dosen, agar masyarakat tidak semena-mena lagi kepada guru. Saat ini
masyarakat kita memang sudah kebablasan, seperti kasus di Pekanbaru
beberapa waktu lalu Guru diancam dengan pistol oleh seorang pejabat
hanya karena anaknya dibentak oleh gurunya karena ribut dikelas, atau
masyarakat demo memecahkan kaca sekolah hanya karena anak-anak mereka
tak lulus Ujian Nasional, atau kasus ancaman oleh mereka yang merasa
memiliki kekuasaan kalau sampai anaknya tidak naik kelas gara-gara tidak
diluluskan maka guru bersangkutan akan dipersulit dan masih banyak
lagi.
Kita sepakat bahwa Hukum harus ditegakkan karena penegakkan hukum
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam hidup bermasyarakat, namun
tidak semua “masalah” yang harus diselesaikan lewat institusi yang
bernama hukum.Apalagi pasal-pasal yang di kenakan adalah “pasal karet”
yang perlu ditelaah kembali karena diadopsi dari Wetboek van Strafcheht
atau KUHP dari jaman Belanda, apalagi berkaitan erat dengan tindak
pendisiplinan di sekolah.
Penulis ingat zaman penulis dulu sekolah hal-hal seperti ini tidak
pernah terjadi, kami sangat menghormati guru. Rambut kami dicukur, kami
dibentak, ditampar semua kami terima. Bila mengadu ke orangtua pun
percuma, pasti ditambah lagi hukuman kami, karena dizaman itu guru dan
orangtua sangatlah kompak. Pun kalau ada yang tidak naik kelas, orangtua
tidak protes karena mereka sadar bahwa anak mereka memang bandel dan
malas. Salahkah pendidikan zaman penulis ini? Salam.
Sumber: Mustafa kamal (http://edukasi.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar